Monday, January 22, 2007

Outdoor Education

Konon katanya alam merupakan sumber pengetahuan berarti seharusnya kita memiliki pengetahuan yang sempurna karena kita dianugrahi memiliki alam yang sempurna. Banyak ilmu manajemen mengambil refleksi dari kehidupan tumbuhan maupun binatang untuk diterapkan dalam manajemen perusahaan. sebagai contoh kehidupan semut yang selalu dalam kesatuan dan bergotong royong sehingga menginspirasikan manusia untuk mengikuti aktivitas sosialnya.

Selain pengetahuan, alam juga menyediakan fasilitas pendidikan dengan gelar lulusan “MT” (Manusia Tangguh). Hal inilah yang dilihat oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Kurt Hahn. Kurt berdasarkan dari pengamatannya terhadap pelaut-pelaut muda Inggris, Ia menciptakan metode pendidikan Experiential Learning metode ini pertama kali diterapkan di Inggris pada tahun 1941. Al hasil metode ini berhasil menciptakan manusia berkualitas dan dalam perkembangannya metode ini meluas ke Eropa, Amerika hingga akhirnya merambah ke Asia.

Di Indonesia lembaga pendidikan alam terbuka (outdoor education) dengan metode pendidikan Experiential Learning baru diperkenalkan kurang lebih 15 tahun yang lalu. Dan sejak saat itu mulai bermunculan lembaga-lembaga pendidikan dengan metode serupa. Sebut saja Pelopor Adventure Camp yang memiliki kantor pusat di Jl. Duren Tiga Barat No 5. Lembaga ini sudah berdiri sejak tahun 1993. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan outdoornya. Pelopor membuka 3 camp dengan tiga karakteristik berbeda. Camp Jatiluhur dengan dengan karakteristik hutan dan danau, Camp Pringayu mangambil nuansa pegunungan di daerah bogor dan Camp Marina dengan nuansa Pantai di Anyer.

Selain Pelopor Adventure Camp masih banyak lagi lembaga-lembaga serupa seperti, Bina Wana Sarana, Rakata, Earth Color, Selaras, Galang, OBI, Momentum dll. Mereka adalah orang-orang yang concern dengan dunia pendidikan sekaligus meruntuhkan tembok bahwa alam itu berbahaya.

Outdoor education pada dasarnya adalah sebuah metode untuk menggali kompetensi individu. Metode ini terdiri dari tiga tahapan kegiatan yang saling berkesinambungan yaitu petualangan (Adventure Journey), pembentukan tim (Group Building) dan proses pemecahan masalah (Problem Solving process). Dalam prosesnya, peserta didik akan dibagi kedalam kelompok-kelompok kecil (8-12 orang) dan didampingi oleh seorang fasilitator. Kelompok-kelompok kecil ini akan melakukan simulasi permainan dan mencoba menggali makna yang terkandung dari simulasi yang telah dilakukan. Tugas fasilitator adalah memimpin arah pembicaraan atau diskusi kelompok menuju hasil yang ingin dicapai.

Para praktisi outdoor education pada umumnya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandi bahwa “kekuatan seseorang untuk berubah menjadi lebih baik bukan ditentukan oleh kekuatan fisiknya, melainkan oleh kekuatan kehendaknya”. Alam hanyalah sebuah tempat dan manusialah yang bisa membuat tempat ini menjadi bermakna.

The 3rd annual ITA 2007

Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya

Dalam acara The 3rd Annual Introductory to Adventure Learning (ITA) 2007, kamis (18/01) oleh Pelopor Adventure Camp di camp Pringayu – Ciawi Bogor. Disini Iwan Riswandi (member of Association for Experiential Education (AEE) Colorado – USA) selaku pemandu acara ini di depan 35 guru tingkat TK – SMU se JABODETABEK menjelaskan tentang pentingnya Experiential Learning Methode untuk menigkatkan gairah belajar. Experiential Learning adalah cara belajar dimana siswa belajar melalui pengalaman, yang kemudian proses terjadinya pengalaman tersebut digali hingga menemukan poin pembelajaran. Metode ini tidak harus di alam terbuka, bisa dimana saja bahkan diruang sekolah sekalipun, tetapi metode seperti ini menuntut seorang guru yang kreatif, penuh semangat, menyenangkan dan memiliki daya eksplorasi yang tinggi.

Dalam kaitannya dengan tema yang diangkat yaitu “meningkatkan motivasi belajar pada anak” Iwan juga menambahkan bahwa metode saja tidak cukup, karena untuk memotifasi anak agar mau belajar harus didukung dengan memberikan guru yang termotivasi (well motivated) untuk belajar sehingga aura semangat belajar turut mempengaruhi siswa didiknya. Hal ini disebabkan pendidikan tidak lepas dari figur seorang guru. Seperti bunyi peribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari” artinya guru adalah role model bagi murid-muridnya. Sikap dan ajarannya akan mencerminkan wawasan, pengetahuan dan perilaku dari gurunya.

Jika saja metode pembelajaran dan kebutuhan guru yang seperti ini terpenuhi, niscaya gairah belajar dan pendidikan di negara kita akan bergerak maju dengan terarah dan pada akhirnya meningkatkan nilai kompetitif pendidikan Indonesia.